Beranda | Artikel
Sebagian Pokok Aqidah Islam
Selasa, 12 Januari 2016

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, Islam adalah agama yang penuh dengan ajaran kebaikan dan rahmat bagi umat manusia. Tidak ada suatu kebaikan melainkan telah ditunjukkan olehnya dan tidak ada suatu keburukan melainkan telah diperingatkan olehnya.

Barangsiapa yang berpegang-teguh dengan agama Islam ini sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan selamat dan berbahagia.

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan, dalam keadaan beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud amal salih adalah yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4/601)

Islam membawa kepada keselamatan dan petunjuk. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Yaitu tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/322)

Beramal salih yaitu tunduk kepada ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa amal salih adalah amal yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan yang dimaksud ‘tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun’ ialah amal itu dilakukan dengan ikhlas dimana ia menginginkan Wajah Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Kedua hal ini merupakan pilar diterimanya amal. Yaitu amal itu harus ikhlas untuk Allah dan benar dalam artian mengikuti syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/205)

Tujuan Hidup

Allah telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka adalah untuk Aku perintahkan beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 7/425)

Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia; siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “[Dia] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk : 2).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud terbaik amalnya adalah yang paling bagus amalnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin ‘Ajlan, “Allah tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/176)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Beliau berkata, “Sesungguhnya amal apabila ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima. Demikian pula apabila amal itu benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah, dan benar yaitu apabila berada di atas Sunnah.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/164)

Ikhlas Dalam Beribadah

Agama yang lurus ini yaitu Islam adalah agama yang tegak di atas nilai-nilai keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif, dan mendirikan sholat, serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Semua rasul mengajarkan kalimat ikhlas yaitu kalimat laa ilaha illallah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada ilah/sesembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Hakikat ikhlas itu adalah beribadah kepada Allah semata dan menjauhi segala hal yang disembah selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Berpegang-teguh dengan kalimat tauhid ini adalah dengan mengingkari segala sesembahan selain Allah dan beribadah kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah : 256)

Buhul tali yang sangat kuat atau al-‘Urwatul Wutsqa yang dimaksud dalam ayat ini mengandung banyak makna. Mujahid menafsirkannya dengan iman. as-Suddi menafsirkan bahwa maksudnya adalah Islam. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kalimat laa ilaha illallah. Anas bin Malik menafsirkan maksudnya adalah al-Qur’an. Salim bin Abil Ja’d menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan, “Semua pendapat ini adalah benar dan tidak bertentangan satu sama lain.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/684)

Meninggalkan Perbuatan Syirik

Beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik merupakan perintah yang paling agung di dalam agama Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, dan kepada kedua orang tua hendaknya kalian berbuat baik…” (an-Nisaa’ : 36)

Ibadah adalah hak Allah, tidak ada yang berhak mendapatkan peribadatan kecuali Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya Allah yang boleh disembah, adapun segala sesembahan selain-Nya adalah sesembahan yang batil. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (al-Israa’ : 23). Oleh sebab itu setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 59)

Kaum musyrikin di masa silam pun telah memahami bahwa kalimat laa ilaha illallah menuntut mereka untuk meninggalkan segala sesembahan selain Allah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5) (HR. Ahmad)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Maka jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31)

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)

Oleh sebab itu sungguh mengherankan pada masa ini keadaan orang-orang yang beribadah kepada kubur-kubur sementara mereka juga mengucapkan laa ilaha illallah. Mereka mengucapkan laa ilaha illallah namun di saat yang sama mereka juga menujukan sebagian ibadahnya kepada selain Allah. Betapa celaka orang-orang yang Abu Jahal dan Abu Lahab lebih paham darinya tentang makna kalimat laa ilaha illallah (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah karya Syaikh al-Fauzan, hal. 34)

Mewaspadai Bahaya Syirik

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan kita untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalimat laa ilaha illallah berisi perintah untuk bertauhid dan larangan dari segala bentuk syirik kepada-Nya. Syirik itu adalah beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah. Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan sebab pelakunya kekal berada di dalam neraka selama-lamanya.

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (al-Maa’idah : 72)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (al-Bayyinah : 6)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap seluruh amalmu, dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk surga. Dan barangsiapa yang betemu Allah dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun maka dia masuk neraka.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan menyeru/beribadah kepada sekutu/tandingan sesembahan selain Allah maka dia masuk neraka.” (HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu)

Oleh sebab itulah salah satu wasiat yang paling penting kepada umat ini adalah untuk meninggalkan syirik. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar’.” (Luqman : 13)

Sampai-sampai orang yang mulia dan sangat dicintai Allah sekelas Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan darinya. Allah berfirman menceritakan doa Ibrahim (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35)

Syirik pun menjadi sebab amal salih tertolak di sisi Allah. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amal seraya mempersekutukan bersama-Ku sesembahan/pujaan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Sebab-Sebab Terjadinya Syirik

Salah satu diantara sebab munculnya syirik adalah berlebih-lebihan terhadap orang salih. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Wahai ahli kitab, janganlah kalian bersikap berlebih-lebihan dalam agama kalian, dan janganlah kalian berkata atas nama Allah kecuali berdasar kebenaran.” (an-Nisaa’ : 171)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana Nasrani berlebihan dalam memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku ini hanyalah hamba, maka katakanlah ‘hamba Allah dan rasul-Nya’.” (HR. Bukhari)

Selain itu, syirik juga bisa terjadi karena taklid kepada nenek-moyang. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah. Allah berirman (yang artinya), “Bahkan mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendapati nenek-moyang kami berada di atas suatu ajaran, dan kami selalu berada di atas jejak-jejak mereka dalam mencari petunjuk’.” (az-Zukhruf : 22)

Syirik juga terjadi disebabkan kebodohan terhadap tauhid dan ajaran rasul. Oleh sebab itu semakin jauh kaum muslimin dari ilmu maka semakin besar kemungkinan syirik merasuk dan merusak dalam hidup dan kehidupan mereka. Karena itulah wajib atas segenap kaum muslimin untuk belajar tentang tauhid dan iman yang akan menjaga mereka dari syirik dan kekafiran.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/sebagian-pokok-aqidah-islam/